Metode belajar kebanyakan dilakukan guru secara monoton, sehingga pekerjaan tersebut menjadi pekerjaan yang sangat menjenuhkan baik bagi guru maupun bagi siswa. Selain itu materi yang disampaikan guru sangat sedikit yang bisa diterima oleh siswa, sekitar 25% - 50% saja. Hal ini dapat diketahui setelah diadakan kuis atau latihan setelah selesai menyajikan materi pada saat itu juga.
Kondisi ini seharusnya menuntut para guru untuk bisa memikirkan bagaimana cara agar pelajaran bisa diserap 70% - 90% sehingga siswa dapat mencapai nilai yang standar. Kenyataannya bukan hanya guru saja yang merasakan kejenuhan. Kebanyakan siswa juga merasakan hal yang sama, bahkan lebih lagi karena bila setiap kali guru menyajikan materi hanya menggunakan satu strategi saja tentunya siswa akan merasa bahwa sekolah itu adalah sesuatu yang harus dihindari, ditambah lagi dengan sikap guru yang senantiasa marah-marah apabila sebagian besar siswa tidak mengerti dan tidak bisa memenuhi standar nilai, di setiap kuis atau latihan.
Situasi seperti ini bisa membuat siswa semakin bingung dan tidak paham terhadap pelajaran. Oleh karena itu diperlukan modifikasi strategi setiap kali pertemuan agar siswa tidak jenuh dan tujuan pelajaran serta standar nilai bisa tercapai sesuai waktu dan kurikulum yang sedang berjalan. Salah satu modifikasi strategi dalam pembelajaran yang dapat dilakukan oleh guru adalah membuat suasana kelas menjadi rileks dan menyenangkan dengan memutar musik ataupun lagu yang sedang populer sehingga siswa terpancing konsentrasinya dan tanpa sadar motorik dan otak mereka mulai bekerja tanpa paksaan.
Di negara-negara maju, musik telah dimanfaatkan untuk kepentingan umum dan bukan hanya pada kepentingan musik. Bank, dokter gigi, agen asuransi rumah sakit dan tempat-tempat yang berhubungan dengan orang banyak telah memanfaatkan musik untuk kepentingan tertentu. Wajar kalau negara miskin seperti Indonesia belum mampu untuk melihat prospek musik dari aspek manfaat. Musik masih difungsikan untuk sekedar hiburan dan menjadi disiplin khusus yang sangat spesial sehingga terasa sulit untuk disejajarkan dengan disiplin ilmu lain. Plato pernah berkata, “ Di dalam pendidikan, musik menduduki posisi tertinggi karena tidak ada satupun disiplin yang dapat masuk ke dalam jiwa dan menyertai dengan kemampuan bertahap melebihi irama dan harmoni.” Mengapa nilai pendidikan musik saat ini begitu merosot dibandingkan zaman Plato? Ide mengenai pendidikan musik itu sendiri adalah sangat baik walaupun ada sebagian orang tua yang tidak ingin anaknya mengenal musik. Padahal, kalau dilihat dari segi manfaatnya, tentu saja akan lebih baik bagi semua orang dari segala lapisan dalam kehidupan sehari-harinya (Djohan, 2005:143,176).
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa musik berpengaruh signifikan terhadap konsentrasi, kesehatan, daya ingat, kreativitas dan daya pikir, bahkan mahasiswa yang diperdengarkan musik-musik klasik beberapa jam sebelum tes IQ berakibat pada bertambahnya nilai IQ para mahasiswa tersebut dibanding jika mereka tak didengarkan musik klasik (Campbell, 2002: 89). Karena itu banyak hasil penelitian yang menyarankan agar ketika belajar diiringi dengan musik latar.
Di Indonesia, menggunakan musik latar dalam pembelajaran di kelas masih sangat jarang, namun ketika siswa belajar di rumah berdasarkan survei penulis terhadap 20 orang siswa, 15 orang mengatakan bahwa mereka sering belajar diiringi dengan musik. Namun, musik yang mereka dengar pada umumnya adalah lagu-lagu populer yang sedang naik daun baik dari radio, kaset maupun CD. Akan tetapi tidak diketahui apakah dengan iringan musik tersebut ketika para siswa belajar di rumah dapat secara signifikan meningkatkan konsentrasi belajar, atau hasil belajar siswa, atau hanya sekedar menyebabkan rasa santai sehingga belajar mereka tidak terasa terlalu menjenuhkan. Kalaupun ada, musik yang bagaimana yang dapat meningkatkan konsentrasi atau hasil belajar siswa tersebut.
Suatu studi penelitian yang terdapat dalam Campbell (2002:19) menunjukkan bahwa anak-anak kecil yang mendapat pelatihan musik secara teratur menunjukkan keterampilan motorik, dan kemampuan membaca lebih baik dari pada kawan-kawan mereka yang tidak berlatih musik.
Hakikat Belajar Menurut aliran kognitivisme, belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar merupakan aktifitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat konpleks. Piaget berpendapat bahwa perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetic yang didasarkan atas mekanisme biologis dan perkembangan system syaraf. Proses belajar akan terjadi jika mengikuti tahap-tahap assimilasi, akomodasi dan ekuilibrasi (penyeimbangan). Proses assimiliasi merupakan proses pengintegrasian atau penyatuan informasi baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimiliki oleh individu. Proses akomodasi merupakan proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Sedangkan proses ekuilibrasi yaitu proses penyeimbangan antara linkungan luar dengan struktur kognitif yang ada dalam dirinya (Budiningsih,2005 : 35).
Menurut aliran behaviorisme, Thorndike menyatakan bahwa belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Perubahan tingkah laku yang terjadi merupakan akibat dari kegiatan belajar yang berwujud konkrit (dapat diamati) ataupun tidak konkrit (tidak dapat diamati). Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti fikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan siswa ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran perasaan atau gerakan atau tindakan (Budiningsih, 2005:21).
Secara psikologis, belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto, 2003:2). Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa belajar bukan hanya sekedar proses perubahan tingkah laku, tetapi juga terjadi proses di otak secara konpleks dan harus seimbang antara diri sendiri dan lingkungan sekitar yang terjadi dalam kehidupannya.
Hasil merupakan produk dari belajar, artinya bahwa dengan belajar, atau dengan membelajarkan, diharapkan adalah hasil yang cenderung pada perubahan tingkah laku. Menurut Sahertian (2004) hasil belajar merupakan gambaran tingkat penguasaan siswa terhadap sasaran belajar pada topik bahasan yang dieksperimenkan, yang diukur berdasarkan jumlah skor jawaban benar pada soal yang disusun sesuai dengan sasaran belajar. Bloom (1973 dalam Anderson, dkk, 2001) menyatakan ada 3 domain yang bisa dinilai dari siswa yaitu cognitive domain (ranah kognitif), affective domain (ranah afektif) dan Psychomotor domain (ranah psikomotor).
Strategi Pembelajaran Strategi dibuat semata-mata hanya untuk mencapai tujuan secara efektif. Dalam pelaksanaan proses pembelajaran di sekolah terdapat beberapa aspek kemampuan yang harus dikuasai dan dilakukan oleh guru dalam mengajar, agar kegiatan pembelajaran dapat efektif. Menurut Norris dalam Suryosubroto (1997:14) mengajar yang efektif tergantung pada : 1) kepribadian guru, 2) metode yang dipilih, 3) pola tingkah laku, dan 4) kompetensi yang relevan.
Dalam pembelajaran, guru diharapkan mampu menciptakan suatu sistem atau strategi agar pembelajaran bisa mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Strategi yang dimaksud adalah strategi mengajar atau serentetan kegiatan yang nantinya dilaksanakan di dalam kelas sehingga Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) bisa mencapai tujuan secara efektif. Dick dan Carey (1996) mengatakan bahwa strategi pembelajaran memuat lima komponen utama yaitu: 1) aktivitas pembelajaran pendahuluan, 2) penyampaian informasi, 3) partisipasi siswa, 4) tes, 5) kegiatan lanjutan. Suparman (1997) mendefenisikan strategi pembelajaran sebagai perpaduan dari 1) urutan kegiatan instruksional, 2) cara pengorganisasian materi pengajaran dan siswa, 3) peralatan dan bahan dan 4) waktu yang digunakan dalam proses pembelajaran. Kedua defenisi yang dikemukakan para ahli tersebut pada prinsipnya lebih menekankan pada aspek komponen dan prosedur pengajaran.
Selanjutnya, menurut Sudjana yang dikutip oleh Sabari (2007:2) menyatakan bahwa strategi mengajar merupakan tindakan guru dalam melaksanakan rencana pembelajaran dengan menggunakan beberapa variabel pengajaran seperti tujuan, bahan, metode dan alat serta evaluasi untuk mempengaruhi siswa mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pernyataan tersebut sejalan dengan teori yang dinyatakan Djamarah dan Zain (1996:5) yaitu, suatu garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan.
Ahli lain yakni Bar dalam Suryosubroto (1997:10) mengemukakan bahwa mengajar yang efektif itu tergantung pada : 1) sikap guru pada waktu mengajar, 2) tingkah laku guru pada waktu mengajar, 3) motivasi, 4) perhatian terhadap perbedaan individu, 5) mengorganisasi bahan, 6) memberi ilustrasi, 7) memberi tugas, 8) pertanyaan dalam kelas, 9) penguasaan bahan, 10) memberi komentar terhadap jawaban siswa, 11) ketertiban siswa, dan 12) cara memberi tes dan evaluasi. Gagne dan Briggs (1979) mengatakan bahwa sistem instruksional (pembelajaran) adalah suatu set peristiwa yang mempengaruhi siswa sehingga terjadi proses belajar. Suatu set peristiwa itu mungkin dilakukan oleh siswa sendiri dengan menggunakan buku, gambar program televisi atau kombinasi berbagai media seperti musik, baik yang diberi oleh guru maupun oleh siswa sendiri, kegiatan itu haruslah terencana secara sistematik untuk dapat disebut kegiatan pembelajaran.
Media Pembelajaran Kata media berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan (Sadiman, dkk., 1986).
Banyak batasan yang diberikan orang tentang media. Asosiasi Teknologi dan Komunikasi Pendidikan (Association of Education and Communication Technology / AECT) di Amerika misalnya, membatasi media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan/informasi. Schramm (1977 dalam Sudrajat, 2008) mengemukakan bahwa media pembelajaran adalah teknologi pembawa pesan yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran. Gagne (1970 dalam Sadiman, dkk., 1986) menyatakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsang untuk belajar. Sementara Briggs (1970 dalam Sadiman, dkk., 1986 ) berpendapat bahwa media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan serta merangsang siswa untuk belajar. Buku, film, televisi adalah contoh-contohnya. Dari pendapat-pendapat diatas disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan pesan, dapat merangsang fikiran, kemauan siswa sehingga dapat mendorong terciptanya proses belajar pada diri siswa.
Pada awal perkembangannya, media hanya dianggap sebagai alat bantu mengajar guru (teaching aids). Alat bantu yang dipakai adalah alat bantu visual, yaitu gambar, model, objek dan alat-alat lain yang dapat memberikan pengalaman konkrit, memotivasi belajar serta mempertinggi daya serap dan retensi belajar. Dipertengahan abad ke-20, pengaruh teknologi audio masuk untuk mengkonkritkan ajaran yang semula hanya mengandalkan alat audio visual atau audio visual aids (AVA) (Sadiman, dkk., 1986).
Kegunaan media pendidikan dalam proses belajar mengajar yang kemudian disebut sebagai media pembelajaran adalah :
- Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis (dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan belaka).
- Mengatasi keterbatasa ruang, waktu dan daya indera.
- Dengan menggunakan media pembelajaran yang tepat dan bervariasi dapat diatasi sikap pasif siswa (Sadiman, dkk., 1986)
- Membangkitkan keinginan dan minat baru.
- Membangkitkan motivasi dan merangsang siswa untuk belajar.
- Memberikan pengalaman yang integral/menyeluruh dari konkrit sampai abstrak.
- Memungkinkan adanya interaksi langsung antara siswa dengan lingkungannya (Sudrajat, 2008).
Menurut taksonomi media yang dikemukakan oleh Briggs (dalam Sadiman, dkk., 1986) bahwa taksonomi ini lebih mengarahkan media yang memiliki karakteristik menurut stimulus atau rangsangan yang dapat ditimbulkannya daripada dari medianya sendiri, yaitu kesesuaian rangsangantersebut dengan karakteristik siswa, tugas pembelajaran, bahan dan transmisinya. Briggs mengidentifikasikan 13 macam media yang digunakan dalam proses belajar mengajar, yaitu : objek, model, suara langsung, rekaman audio, media cetak, pembelajaran terprogram, papan tulis, media transparansi, film bingkai, film rangkai, film televise dan gambar.
Sedangkan taksonomi menurut Edling, dinyatakan bahwa sesungguhnya rangsangan belajar dan tanggapan merupakan variabel kegiatan belajar dengan media. Menurut Edling, media merupakan bagian dari enam unsur rangsangan belajar, yaitu dua untuk pengalaman audio meliputi kodifikasi subjektif visual dan kodifikasi objektif audio, dua untuk pengalaman visual meliputi kodifikasi subjektif audio dan kodifikasi objektif visual dan dua pengalaman belajar tiga dimensi meliputi pengalaman langsung dengan orang dan pengalaman langsung dengan benda-benda.
Beberapa jenis media yang lazim dipakai dalam kegiatan belajar mengajar khususnya di Indonesia (Sadiman, dkk., 1986), adalah :
- Media grafis, contohnya : gambar/foto, sketsa, diagram, bagan/chart, grafik, kartun, poster, peta dan globe, papan flannel, papan bulletin.
- Media audio, contohnya : radio, alat perekam pita magnetic digital.
- Media proyeksi diam, contohnya : film bingkai, film rangkai, proyektor tak tembus pandang, proyektor tembus pandang, mikrofis film, film gelang, televise, video.
Dalam penelitian ini menerapkan penggunaan satu media baru yaitu musik yang berfungsi untuk membangkitkan keinginan, minat, motivasi dan merangsang siswa untuk belajar.
Musik dalam Pembelajaran Musik adalah pantulan dunia di sekitar kita dan juga orang-orang yang membuatnya. Alam semesta tercipta dengan musik alam yang sangat indah. Gemuruh, ombak laut, deru angin di gunung, dan rintik hujan merupakan musik alam yang sangat indah dan sudah terbukti, bagaimana pengaruh musik alam itu bagi kehidupan manusia. (Sari, 2006:90). Pengertian lain mengatakan bahwa musik adalah bunyi yang diterima oleh individu dan berbeda-beda berdasarkan sejarah, lokasi budaya dan selera seseorang (http://id.wikipedia.org/wiki/musik).
Sementara pengikut Pythagoras mendefenisikan musik sebagai persatuan sempurna dari hal-hal yang berlawanan, persatuan dalam keanekaragaman, keserasian dalam pertentangan. Karena musik tidak hanya mengkoordinasikan irama dan modulasi, tetapi mengatur seluruh sistem; ujungnya adalah menyatukan dan mengkoordinasikan (Montello, 2004:160).
Musik juga merupakan produk pikiran. Menurut Parker (1990), elemen vibrasi (fisika dan kosmos) atas frekuensi, bentuk amplitudo dan durasi belum menjadi musik bagi manusia sampai semua itu ditransformasikan secara neurologis dan diinterpretasikan melalui otak menjadi pitch, warna suara, keras lembut, dan waktu (dalam kerangka tonal) (Djohan, 2005:24).
Proses belajar memerlukan kondisi fisik, mental, dan emosional yang mendukung information-intake (memasukkan informasi kedalam otak). Kondisi optimal untuk information-intake adalah saat seseorang dalam keadaan Alfa. Kondisi Alfa adalah suatu kondisi dimana getaran gelombang otak manusia berada pada kisaran 8 sampai 12 Hz. Kondisi Alfa optimal adalah frekuensi 10,5 Hz. Ada beberapa cara unuk bisa masuk kedalam kondisi Alfa ini. Di antaranya adalah dengan teknik relaksasi, meditasi, pernafasan, visualisasi, dan mendengarkan musik. Cara yang paling mudah adalah dengan menggunakan bantuan musik, karena tubuh kita akan mengikuti ritme musik tersebut (Gunawan, 2004:179)
Para ahli percaya bahwa pelatihan dengan menggunakan musik membentuk jalur baru di dalam otak dan memberi lebih dari pada sekedar hubungan sebab akibat terhadap perkembangan bagian-bagian tertentu dari otak secara jangka panjang. Musik memicu keterkaitan yang lebih besar dari pada yang dapat diberikan oleh stimulus lainnya terhadap belahan otak sebelah kiri dengan yang kanan dan antara bidang-bidang di dalam otak yang bertanggung jawab atas emosi dan ingatan. Dengan menggunakan musik sebagai alat untuk memaksimalkan potensi manusia akan merupakan upaya yang sangat berarti. Karena musik mampu memotivasi dan mendorong partisipasi dalam kegiatan yang nantinya akan membantu meraih tujuan di dalam fungsi-fungsi sosial, bahasa dan motorik (Sari, 2005:27-50). Hal ini juga dikatakan dalam tulisan Campbell (2002:226) bahwa mendengarkan musik telah terbukti melambatkan laju denyut jantung, mengaktifkan gelombang-gelombang otak untuk kegiatan berpikir tingkat tinggi dan menciptakan kondisi mental yang positif, santai, mudah menerima yang ideal untuk belajar.
Teori pendidikan terbaru yang dikutip oleh Sari (2005:45-46) mengatakan otak akan bekerja optimal apabila kedua belahan otak ini dipergunakan secara bersama-sama. Hal ini bisa dilihat jika anak belajar dengan hanya memanfaatkan otak kiri yang memiliki fungsi mengolah seputar sains, bisnis dan pendidikan sementara otak kanannya tidak diaktifkan yang seharusnya memiliki fungsi berfikir, perasaan, bosan dan mengantuk. Begitu juga mereka yang hanya memanfaatkan otak kanan tanpa diimbangi dengan pemanfaatan otak kiri, bisa jadi ia akan banyak menyanyi, mengobrol atau menggambar tetapi hanya sedikit ilmu yang bisa masuk ke otaknya. Salah satu cara untuk memadukan fungsi otak kanan dan kiri yaitu menggunakan musik pada saat menghafal pelajaran.
Metodologi Musical Exposure Towards (Pembelajaran dengan memaparkan musik pada anak-anak) yang dikutip oleh Sari (2005: 49), telah didukung oleh kajian ilmiah yang mengungkapkan bahwa pemaparan terhadap musik akan meningkatkan proses pembelajaran di dalam pikiran anak-anak. Hal ini didukung pula oleh para ahli yang berkeyakinan bahwa bermusik (mendengarkan atau bermain musik) ternyata dapat memberikan nutrisi, dan suara untuk meningkatkan gerakan, pendengaran dan ekspresi pada anak-anak. Dengan bermusik anak-anak juga bisa meningkatkan keterampilan dan kreativitasnya, serta mengalami peningkatan IQ spasialnya.
Musik yang baik adalah sangat berharga sebagai perangkat pengajaran. Metode pembelajaran yang menyertakan pemaparan musik kepada anak-anak telah menerapkan seni memadukan musik dengan pembelajaran ke tingkat pendidikan yang baru dan lebih tinggi (Sari, 2005:51). Hal ini didukung dengan pernyataan De Porter, dkk. (2005:73) yang menyatakan bahwa musik berpengaruh pada guru dan siswa. Sebagai seorang guru, kita dapat menggunakan musik untuk menata suasana hati, mengubah keadaan mental siswa, dan mendukung lingkungan belajar. Musik membantu siswa bekerja lebih baik dalam mengingat lebih banyak, musik merangsang, meremajakan, dan memperkuat belajar, baik secara sadar maupun tidak sadar. Di samping itu kebanyakan siswa memang mencintai musik.
Selanjutnya para ahli mempercayai bahwa ada hubungan antara musik dengan perkembangan kepribadian fisik dan psikis seseorang. Pengaruh ini tidak hanya dimulai setelah lahir, melainkan sejak anak masih dalam kandungan (Sari, 2005:2). Penggunaan musik bagi siswa yang sedang membaca informasi atau materi pelajaran, menyanyikan kalimat materi pelajaran yang penting, memutar musik ketika siswa berdiskusi dimana suara musik sama besarnya dengan suara yang dikeluarkan siswa, dan masih banyak lagi cara lain yang bisa dilakukan dengan menggunakan musik untuk pembelajaran (De Porter, dkk. 2005:73-74).
Menurut Ortiz (2002:86) penggunaan musik dalam pembelajaran berguna untuk: 1). memotivasi anak untuk berlatih, 2). meningkatkan kepekaan tubuh, 3). mengaktifkan tumbuhnya keterampilan motorik besar, 4). meningkatkan koordinasi, 5). mengembangkan rasa percaya diri dan harga diri, 6). bertindak sebagai katalis untuk improvisasi imajinatif, 7). memperkenalkan dan mempertahankan struktur dalam kegiatan-kegiatan yang teratur, 8). berfungsi sebagai sumber kebahagiaan dan kesenangan, 9). mendorong terjadinya hubungan sosial, dan 10). menciptakan lingkungan yang terkendali dimana pengungkapan diri bisa diwujudkan.
Howard Gardner dari Harvard yang dikutip oleh Campbell (2002:220) menyatakan dalam bukunya Introduction to the Musical Brain, dengan penuh semangat mendukung pendapat bahwa semakin seorang anak mendapat perangsangan melalui musik, gerakan dan kesenian, semakin cerdaslah dia itu nantinya. Musik membawa suasana positif dan santai bagi banyak kelas, juga memungkinkan integrasi indera yang diperlukan untuk ingatan jangka panjang. Pada tahun 1972 dan 1992, tiga pendidik yang berasosiasi dengan Future of Music Project menemukan bahwa pelajaran musik membantu membaca, bahasa (termasuk bahasa asing), Sains dan prestasi akademik keseluruhan. Hal ini dikarenakan irama dan nada dari musik dapat membantu untuk berpikir logis, mengingat konsep-konsep baru dalam waktu lebih lama.
Musik disebut juga alat terapi dimana hasil riset menunjukkan bahwa musik dapat mengharmoniskan dan mengembangkan semua irama dari badan kita, termasuk denyut jantung, kecepatan bernafas, tekanan darah, frekuensi, gelombang otak dan kecepatan respiratory primer, selanjutnya para peneliti juga menemukan bahwa musik dalam menjadi terapi yang baik untuk orang yang mengalami stress, karena ketika kita mengalami stress, tubuh memproduksi hormon kortisol dalam jumlah besar, yang dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh. Mendengarkan suara musik yang menyenangkan, meningkatkan status dalam keadaan santai mengurangi jumlah kortisol dalam aliran darah dan meningkatkan produksi antibodi spesifik yang memperkuat sistem kekebalan tubuh dan melindungi badan terhadap infeksi serta penyakit (Montello, 2004:44-47).
Musik dapat mengajari manusia tentang kebiasaan belajar yang baik, membantunya mengingatkan fakta-fakta dengan mudah baik secara visual dan aural dalam bergerak, mencipta dan berinteraksi dengan kelembutan dan kepekaan dalam mengekspresikan emosi dan membebaskan diri dari stress (Campbell, 2002:17)
Sebenarnya musik telah digunakan oleh orang Yunani kuno untuk memudahkan mereka menghafal. Namun entah apa sebabnya, selama separuh abad yang silam teknik ini banyak dilupakan di sekolah-sekolah (Campbell, 2002:86). Karenanya pada kesempatan penelitian ini, penulis ingin mengembalikan musik ke tengah-tengah pendidikan.
Daftar PustakaAbdurrahman, M. 2003.
Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta:Rineka Cipta.
Arikunto, S. 2000.
Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Budiningsih, A.2005.
Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:Rineka Cipta
Campbell, D. 2002.
Efek Mozart Bagi Anak-Anak. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Campbell, D. 2002.
Efek Mozart. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
De Porter, B. dan Hernacki, M. 2005.
Quantum Teaching. Bandung: Kaifa.
De Porter, B. dan Hernacki, M. 2005.
Quantum Learning. Bandung : Kaifa.
Dick & Carey. 1996.
The Systematic Design of Instruction. New York: Wesley Educational.
Djamarah, B. dan Zain, A. 2002.
Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Djohan. 2005.
Psikologi Musik. Yogyakarta : Buku Baik.
Dryden, G., Vos, J. 2002.
Revolusi Cara Belajar. Bandung: Kaifa.
Sabari, A. 2007.
Strategi Belajar Pembelajaran. Jakarta: Ciputat Press.
Sahertian, W. 2004.
Pengaruh Penggunaan Bahan Ajar dan Gaya Belajar Terhadap Hasil Belajar. (On line).Sari, N.R. 2005.
Musik dan Kecerdasan Otak Bayi. Bogor : KH. Kharisma Buka Aksara.
Slameto. 2003.
Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta
.(http://www.wartajazz.com/opijazz 060902.html.) diakses 20 Maret 2009
.(http://www.review effec of music on learning.html.) diakses 16 April 2009
Tulisan ini telah diterbitkan di Jurnal Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Negeri Medan (LPM UNIMED)